Kamis, 28 April 2016

Menolak maaf GM

CARI UNTUK:

HOME INSPIRASI OPINI

Menolak “Maaf” Goenawan Mohamad

APRIL 27, 2016 / 17:06

Oleh Andi Fadlan Irwan

Ada dua pertanyaan penting, yang selalu muncul setiap kali kita bicara tentang permohonan maaf atas pembantaian jutaan orang pasca peristiwa 1 oktober 1965. Pertama, apakah maaf selalu berbanding lurus dengan keadilan dan rekonsiliasi? Kedua, siapakah yang berhak (atau wajib) mewakili negara meminta maaf atas peristiwa di masa lalu?

Setidaknya, dua pertanyaan itulah yang hendak dijadikan Goenawan Mohamad (GM) sebagai pembuka diskusi, jika—seperti yang saya duga—dengan memilih posisi berada di tengah-tengah; di antara korban dan para intelektual pada satu sisi, sementara pemerintah beserta mayoritas publik yang buta sejarah disisi lainnya.

GM dan Pram, meskipun tak pernah akur, setidaknya bersepakat di pertanyaan pertama yaitu; Maaf tak akan pernah bisa menjawab rasa keadilan. Pram tak akan bisa memaafkan apa yang terjadi di masa lalu, sebab begitu maaf diberikan, seakan-akan keadilan telah selesai ditegakkan, padahal keadilan tak bisa ditegakkan dengan cara seperti itu. maaf tak akan sebanding dengan jutaan nyawa yang hilang, jutaan anak-anak yang kehilangan orangtua, hingga yang paling buruk, runtuhnya kebudayaan yang bertahun-tahun dibangun. Sementara GM menganggap maaf justru menghadirkan hierarki penindasan yang baru, antara yang memaafkan dan yang memohon maaf.

Tapi sesungguhnya mereka berdua salah. Maaf memang bukan dimaksudkan untuk memenuhi rasa keadilan. Maaf tak bisa mengganti mata yang hilang. Maaf tak bisa mengganti gigi yang tanggal. Saat berbicara kepada orang dusun Jesus mengatakan, “Jika mata diganti mata, dan gigi diganti gigi, maka seluruh dunia akan buta dan ompong.” Saat itu, Jesus tak berbicara tentang keadilan.

Saat Nelson Mandela membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi, komisi itu memang tak dimaksudkan untuk menegakkan keadilan. Tak perlu mengutip Hannah Arrendt, jika hanya untuk mengatakan bahwa ada kekejian yang tak bisa dijangkau oleh hukuman dan maaf. Semua kekejian pada dasarnya radikal, dan karena itu tak bisa ditemukan hukuman dan maaf yang adil dan setimpal atasnya.

Keadilan pun, sesungguhnya adalah konsep yang semu. Sebab selalu ada yang cacat dalam pembalasan. Selalu ada yang tak lengkap dan tak dihitung dari hukuman, bahkan yang kita anggap paling adil sekalipun. Saat Bima membunuh Dursasana dan meminum darahnya, tindakan itu tak akan setimpal dengan apa yang dilakukan Dursasana terhadap Drupadi di meja judi.  Saat Srikandi membunuh Bisma di padang kurusetra, tindakan itu tentu saja tak apple to apple dengan dosa Bisma terhadap Amba yang mungkin hanya sekedar salah paham.

Karena keadilan tak bisa lagi ditegakkan, maka permohonan maaf, sesungguhnya, tak lebih adalah pengakuan atas kebenaran yang selama ini disembunyikan. Maaf adalah penolakan atas pengingkaran kebenaran dan penyelewengan sejarah yang dibiarkan bertahun-tahun. Jika kita bersepakat demikian, maka permohonan maaf bukan lagi sekedar transaksi (meminjam bahasa GM sendiri) antara pelaku dan korban. Permohonan maaf adalah pengakuan semua orang atas apa yang pernah terjadi. Hanya dengan demikianlah, kata maaf bisa terbebas dari beban “penegakan keadilan” yang sesungguhnya tak akan pernah bisa ditanggungnya.

Di titik itulah, pertanyaan kedua menemukan jawabannya. Jika permohonan maaf bukan lagi soal relasi pelaku-korban, tetapi deklarasi akan kebenaran, maka siapa lagi yang berhak (dan wajib) berbicara jika bukan negara? Siapa lagi yang berhak mengungkapkan penyesalan atas apa yang pernah terjadi di masa lalu jika bukan sebuah sistem yang didaulat semua orang sebagai representasi kepentingannya (yang kita sebut negara) itu? Tak perlu berdebat soal apakah negara itu universal atau partikular. Juga tak perlu berdebat soal siapa yang benar, apakah Hegel atau Marx. Maaf, harus melampaui itu semua.

Tapi, permohonan maaf seperti itu, tak bisa hadir tanpa empati, yaitu kemampuan dan kemauan menyelami luka yang orang lain rasakan. Luka-luka masa lalu, tak bisa diselesaikan jika kita masih sibuk menjelaskan luka-luka itu dengan penjelasan-penjelasan dan kutipan-kutipan yang jauh.  Milan Kundera, setragis apapun hidupnya, dan sebagus apapun ia menuliskan kitab gelak tawa, tak akan bisa menjelaskan penderitaan yang dirasakan Pram selama ia menjalani hukuman bertahun-tahun di pulau buru. Sartre, secerdas apapun ia, tak akan mampu mengerti, luka seperti apa yang dialami Sri Ambar si anggota SOBSI, dalam penyiksaan-penyiksaan yang dilakukan terhadapnya. setiap luka bersifat personal, unik dan spesifik. Luka, karena itu tak bisa dijelaskan, bahkan dengan filsafat apapun. Maka, segala jenis apologi yang coba ditunjukkan GM mesti dihentikan. Maaf, melampaui itu semua.

Karena empati, sekali lagi, hanya bisa lahir dari kesadaran bahwa setiap pengalaman manusia (dengan segala penderitaannya) adalah personal dan unik, maka sunggguh absurd jika GM hendak membanding-bandingkan sikap Pram itu dengan sikap para korban mantan eksili lainnya seperti  Jusuf Ishak, Martin Aleida, dan yang lain. Jika GM hendak menilai Pram, saat Pram menolak permohonan maaf Gusdur, maka mungkin itu berasal dari ketakmampuan GM memahami bahwa setiap pengalaman itu personal.  Sebuah ketakmampuan, yang menjadikan GM menjadi lebih mirip seorang orientalis, yang mencoba mendefinisikan apa yang baik bagi orang lain tanpa pernah merasakan penderitaan hidup orang-orang itu. Sebuah sikap yang muncul dari arogansi, yang selama ini dikritik oleh GM sendiri.

Terakhir, jika GM masih ngotot bertanya, siapa yang harus minta maaf atas kekejaman pasca 65 itu dan wajibkah negara meminta maaf atas kekejaman yang tak dilakukannya, atas nama negara yang tak diwakilinya. Maka kita mesti bertanya balik kepadanya, jika ia (GM) merasa berhak berbicara atas nama Kundera, Arrendt, Hegel, Marx, Monginsidi, hingga Derrida, maka mengapa negara tak diwajibkan berbicara atas nama kemanusiaan dan keadaban yang selama ini dijadikan landasannya?

Penulis adalah Dokter Umum di Enrekang

SHARE

TWEET

PIN

SHARE

Previous post Next post

1 COMMENT

Budi | April 28, 2016 / 20:32 at 20:32 | Balas

Salam kenal Dok, saya Budi di Luwuk Banggai Sulteng. Saya save tulisanya yah. Tulisan keren menurut saya.
Salam Hormatku.

Leave a comment

Your email address will not be published.

Comment

Name *

Email *

Website

TERPOPULER

APRIL 21, 2016 / 7:15

Indonesia, Riwayat Sebuah Nama

APRIL 20, 2016 / 14:14

Ilham Aidit: Taufiq Ismail Provokator

APRIL 19, 2016 / 7:00

Meresmikan Pameran Lukisan

APRIL 27, 2016 / 17:06

Menolak “Maaf” Goenawan Mohamad

APRIL 22, 2016 / 14:30

PKS: Revisi UU Terorisme Jangan Jadi Abuse of Power

TERKINI

Kisruh Internal DPD RI, Senator Disebut Tak Paham Bernegara Secara BaikCara Komunikasi Ahok Brutal, Kasar, dan Banyak UmpatanSiapa Calon Kuat Ketua Umum Golkar?Poros Maritim Jokowi Hanya Isapan Jempol!Maju di Munaslub, Caketum Wajib Setor 1 M

TOP TOPIK

Aburizal Bakrie Acha Septiarasa Ade KomarudinAhok Amerika Serikat Basuki Tjahaja Purnama BNN Edy Soeparno Fahri Hamzah Fidel Castro Golkar HMI Ilham Aidit JK jokowiKabinet Kerja Kalimantan Utara KPK MEA Media MassaMufidah Jusuf Kalla Munas Golkar MunaslubNarkoba opini PAN Panama PapersPematangsiantar Pilkada Pilkada DKIPilkada DKI 2017 PKS PPPReklamasi reshuffle Ruhut Sitompul RUU PilkadaRUU Tax Amnesty Saipul Jamil Setya Novanto siyonoSumber Waras Taufik Ismail Teluk JakartaZulkifliemansyah

COPYRIGHT 2016 | RILIS.ID

REDAKSICONTACTDISCLAIMER

FACEBOOKTWITTER